Friday, February 20, 2009

Epilogue

Baru seminggu yang lalu, aku merencanakan untuk mengambil cuti agar dapat menemani kakakku yang akan datang dari kampung. Dan beberapa kegiatan yang aku rencanakan untuk weekend juga sudah aku rencanakan. Namun belum sempat satupun terlaksana, rencana itu harus berubah total tanpa aku bisa berdaya sedikit pun.

Hari itu, aktifitas di kantor berjalan seperti biasanya. Siang itu pula, aku sempat bercanda dengan rekan dari divisi lain yang kebetulan berkunjung sampai akhirnya aku berpamitan untuk makan siang sebentar sekaligus mengambil uang di ATM seberang jalan untuk persiapan weekend.


Selesai dari situ, di tengah-tengah kegugupanku menyeberang jalan yang penuh dengan kendaraan yang tidak mau mengalah sedikit pun, tanpa sempat aku sadari, sebuah motor melaju sangat kencang menghantamku dengan keras.

Kejadiannya sangat cepat. Tahu-tahu aku sudah berada di Rumah Sakit terdekat dan sempat meronta-ronta, menjerit kesakitan, menangis, dan menyesali kenapa hal ini terjadi pada diriku. Banyak sekali beban yang aku rasakan saat itu. Ketakutan tiba-tiba menyelimutiku, memikirkan apa yang mungkin menimpaku.

Diam-diam aku merasa bahwa aku belum siap menghadapi semua ini, sampai akhirnya aku dibuat tak sadarkan diri oleh Dokter untuk segera menjalani serangkaian operasi. Tulang paha dan tulang keringku sebelah kanan patah. Tulang tengkorakku retak dan ada pendarahan di dalam otak.

Operasi dilakukan berjalan lancar, tinggal menungguku  sadar dari 'koma' sementara setelah selesai operasi. Aku tidak ingat pasti apa yang aku alami selama 2 hari 'koma'.

Pagi itu aku dapat melihat hasil oeprasi yang telah dilakukan. Di sekelilingku sudah banyak teman-teman dan saudaraku yang masih menangis. Aku hanya termenung penuh penyesalan melihat keadaanku yang mengenaskan. Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiranku bahwa aku akan mengalami hal seperti ini dan aku masih sungguh tidak dapat memerimanya.

Pelan-pelan, aku mulai menyadari bahwa segalanya tidak akan sama lagi mulai saat ini. Apa yang terjadi padaku membuatku sadar bahwa waktu yang telah aku lalui selama ini tidak aku pergunakan untuk hal-hal yang cukup baik sampai aku menyesalinya. Sekarang aku tidak dapat memperbaiki apa yang sudah lewat. Aku tidak dapat merubah sedikit pun apa yang sudah aku lakukan.

Satu persatu penggalan peristiwa demi peristiwa muncul di benakku. Sering aku meremehkan banyak hal dalam hidupku. Tidak jarang ada saudara/teman yang harus aku jenguk di rumah sakit entah karena penyakit atau usia tua, sampai akhirnya mereka meninggal. Tapi hal-hal tersebut tidak banyak menggangguku, selain berpikir bahwa "Ya... aku juga mungkin mengalaminya...tapi nanti, masih lama. Sekarang aku masih sangat muda, sehat dan masih banyak yang bisa aku lakukan. Tidak perlu memikirkannya terlalu jauh. Masih banyak waktu".

Sering aku juga mendengar peringatan akhir jaman yang akan datang sekian tahun lagi. Ada pula peringatan akan meteor besar yang akan menghantam bumi sekian puluh tahun lagi. Ada kekhawatiran ketika mengetahui hal-hal tersebut. Tapi tidak aku duga sebelumnya, ada terror lain yang bisa datang jauh lebih cepat dari prediksi akhir jaman. Jauh lebih cepat dari sekedar penyakit atau usia tua.

Terror dan keputusan akhir yang harus aku terima seperti saat ini. Datang begitu saja tanpa aku bisa memohon untuk menolaknya. Tanpa aku bisa menawar agar dapat ditunda minggu depan, atau besok, atau bahkan 1 detik pun, Tidak bisa. Datang begitu saja, tidak peduli kapanpun, di mana pun dan dengan cara apa pun.

Aku mulai mencoba mengamati apa yang aku rasakan. Beban, perasaan kacau, takut, tidak tenang, jengkel, penyesalan tiada henti, semuanya bercampur aduk. Aku mencoba memilah-milahnya, dan satu persatu mulai dapat aku lihat.

Aku sudah lama sekali belum sempat menengok kedua orang tua ku. Padahal mereka berkali-kali menelpon menanyakan kapan aku pulang, dan jawabanku selalu "Nanti begitu ada waktu luang"

Putusnya hubungan denga teman dekatku 2 tahun yang lalu, masih belum (mau) saya hilangkan dari hati. Perasaan dendam dan benvi masih saja aku pelihara, hanya untuk menjaga harga diri.

Secara sengaja, sekitar seminggu yang lalu aku menyakiti hati temanku dengan kata-kata yang kasar hanya untuk memberinya pelajaran untuk pekerjaannya yang aku anggap tidak becus dan bikin repot orang lain.

Angan-anganku untuk menukar mobil dengan yang lebih baru belum juga terlaksana.

Sudah sekitar setengah tahun ini, aku mulai jauh dari kegiatan spiritual dan lebih banyak bersenang-senang dengan hal-hal yang lebih duniawi.

Kenyataannya, sebenarnya aku sudah menyadari itu semua, bahwa aku memang harus merubah sikap dan perilakuku menjadi lebih baik. lebih pemaaf, lebih sabar, lebih memperhatikan orang-orang di sekelilingku termasuk keluarga saya. Tapi kapan?.... Nanti. Selalu "Nanti" jawabannya.

"Untuk saat ini belum sempat".
"Untuk yang ini aku harus memberi pelajaran dahulu pada dia, tidak bisa tidak."
"Untuk sekarang, angan-anganku jauh lebih penting."
"Ya, aku akan mulai kembali membenahi sisi spiritual ku, tapi mungkun minggu depan." Demikian terus... dan terus... sampai akhirnya kini aku tidak sempat melakukan satupun perbaikan.

Dalih yang sering kupakai adalah :
"Aku belum bisa melakukannya."
"Aku belum mampu ke tingkat seperti itu."
"Keadaan sosial ekonomiku belum memungkinkan untuk melakukan hal-hal tersebut, sangat di awang-awang."
"Perlu orang yang benar-benar hebat untuk melakukannya, sedangkan aku hanyalah orang biasa."

Tapi sebenarnya semuanya itu adalah omong kosong. Semuanya hanyalah alibi yang aku gunakan untuk menghindari, untuk menutupi bahwa sesungguhnya. "Aku belum mau melakukannya, karena aku masih senang menikmati semua yang kulakukan sekarang ini." Titik..itu saja.

Seharusnya aku dapat mulai merubah diriku, mulai dari hal-hal kecil. Aku dapat mulai mencoba bersikap ramah kepada setiap orang, siapa pun juga. Seulas senyum setiap kali, aku rasa sudah akan sangat membawa perubahan.

Seharusnya aku dapat mengamati bahwa seringkali aku dikuasai perasaan iri terhadap orang yang lebih baik dariku dan seringkali pula aku meremehkan orang yang lebih rendah dariku.

Seharusnya aku dapat mengamati bahwa seringkali aku dikuasai emosi dan ego yang kuat sehingga tidak mau memaafkan orang lain.

Seharusnya pula aku dapat memulai dengan, bahwa apapun yang kulakukan, sebisa mungkin hal itu dapat bermanfaat untuk orang lain. Kalau toh tidak bisa, paling tidak aku bisa mengusahakan apa yang kulakukan tidak merugikan orang lain. Itu saja sudah pasti sangat berani.

Aaahhh... seandainya masih bisa, aku akan merubah diriku saat ini juga, detik ini juga. Tidak nanti, tidak besok, tidak kapanpun juga. Sekarang juga.

Namun... nasi sudah menjadi bubur. Sesal kemudian tak berguna. Tidka ada yang dapat kulakukan lagi sekarang, selain berharap dan memohon semoga aku tidak dihadapkan lagi pada sesuatu yang sangat berat di sana nanti.

Ya...pagi itu prediksi dokter bahwa aku akan sadar dari keadaan 'koma' setelah 2 hari di luar dugaan, meleset. Entah kenapa, aku tidak pernah sadar lagi sesudah operasi itu dan pagi itu juga aku "dijemput" dan hanya dapat melihat tubuhku yang terbaring kaku dikelilingi oleh teman-teman dan saudara-saudaraku yang menangis tiada henti.

Siang itu juga, aku akhirnya mendapatkan cuti panjang dan dapat pulang ke kampung halamanku dikawal 2 mobil yang mengiringi mobil jenazah, dan diiringi ucapan selamat jalan disetai isak tangis dari semua kerabatku.

Hanya kali ini, hanya tubuhku yang akan pulang. Aku sendiri...entah akan menuju kemana setelah ini.

dikutip dari : "Urip" Edisi akhir September 2002

No comments:

Post a Comment