Wednesday, February 18, 2009

Kemurahan Hati

Sebagai pengusaha besar pembuat pakaian di Canada, aku kerap menjual produk pada sebuah toko eceran kecil di Montreal, yang pemiliknya adalah anggota di perkumpulanku. Kudengan ia seorang pria yang jujur dan terhormat, dan menjalankan bisnisnya dengan selayaknya, maka aku bersedia memberi kredit kepadanya. Menurut syarat-syarat yang telah kami sepakati bersama, ia harus membayar utangnya sebesar $8,724 enam puluh hari setelah menerima kiriman barang dariku. Aku sangat kecewa ketika petugas pembukuanku melaporkan bahwa ia terlambat melunasi kewajibannya.


Kami mengirimkan tiga surat peringatan, tapi semuanya diabaikan. Akhirnya aku menghubungi melalui telpon. "Ada masalah apa?" tanyaku. "Dengar" desahnya "Saya sangat menyesal. tapi saya tidak sanggup membayar utang itu. Bisnis sedang payah dan mungkin saya mesti menutup usaha ini. Saya tidak punya uang sepeserpun".

Aku tidak tahu mesti bagaimana, maka aku berkonsultasi dengan seorang sahabatku. "Perlukan aku membawa masalah ini ke pengadilan?" tanyaku. "Bagaimanapun, $8,724 bukan jumlah sedikit. Aku sangat membutuhkan uang itu. Di lain pihak, aku kasihan padanya. Nasibnya sedang jelek, apa yang bisa dia lakukan?"/ Sahabatku tidak memberikan saran yang kongkret padaku. Ia hanya berkata, "Ikuti saja kata hatimu".

Lama aku bergulat dengan hati nuraniku sendiri, dan akhirnya aku memutuskan tidak sampai hati menuntut pria itu. Kemudian kudengar ia menutup tokonya, pindah ke bagian kota lain aku kehilangan jejaknya. Beberapa tahun berlalu, dan usahaku semakin maju.

Suatu hari aku mendapat telpon dari seorang wanita yang namanya tidak kukenal. Ia bertanya apakah ia boleh datang menemuiku di kantor. Ia sengaja menyembunyikan maksud kedatangannya, tapi rasa ingin tahuku sudah menggelitik, jadi aku bersedia menemuinya. Ketika tiba, wanita itu baru menyebutkan identitasnya. Ternyata ia anak perempuan pria yang masih berutang $8,724 itu.

"Selama bertahun-tahun ayah saya merasa sangat bersalah mengingat utangnya kepada Anda" Katanya. "Dia bangkrut dan tidak pernah bisa membangun usahanya lagi. Samapi sekarangpun dia tetap tidak punya uang tapi dia menyuruh saya memberikan ini pada Anda".

Ia mengeluarkan sebuah perhiasan dari dompetnya dan mengulurkannya padaku. Benda itu adalah sebuah kalung emas bertatahkan berlian. "Ini pusaka keluarga," katanya, "dan boleh dikatakan ini merupakan satu-satunya benda berharga yang masih dimiliki ayah saya. Dia menyuruh saya memberikannya pada Anda, disertai permohonan maaf yang tulus, dengan harapan besar semoga benda ini ada nilainya. Dia tidak tahu seberapa berharganya kalung itu, tapi dia berharap serigaknya dengan kalung itu dia bisa membayar separuh utangnya pada Anda." Mendengar itu, aku menolak menerima kalung tersebut, tapi wanita itu bersikeras.

Aku tidak tahu banyak tentang perhiasan, tapi aku tidak yakin kalung itu benar-benar berharga. Maka kumasukkan kalung itu ke laci, dan benda itu terlupakan. Beberapa hari kemudian, aku baru teringat dan kutunjukkan kalung itu pada ayahku, yang juga tidak yakin dengan nilai benda tersebut. Tapi ayahku menganjurkan tidak ada salahnya membawa kalung itu ke ahli perhiasan.

Sang ahli menilai kalung tersebut dengan seksama dan teliti. Akhirnya. Setelah cukup lama, ia berkata pada kami, "Benda ini sangat berharga. Nilainya jauh lebih besar daripada yang Anda bayangkan. Saya bersedia membelinya dari Anda dengan harga $8,724."

Jumlah itu persis jumlah utang si pemilik kalung padaku !

Di dunia ini, dimana manusia saling memakan sesama, orang yang menunjukkan sikap murah hati bisa dibuat merasa bodoh. Dengan melakukan hal yang benar, si pengusaha jelas telah mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang telah dilakukannya.


Sumber : milis_buddha@yahoogroups.com

No comments:

Post a Comment