Thursday, February 19, 2009

Ia Melihat Wajah Yang Bersinar

Dalam bukunya "Blessings and Woes", Megam McKenna menceritakan kisah seorang pemotret mengamati dunia lewat lensa kameranya. Namun gagal membidik gambar yang terpenting dalam hidupnya.

Di akhir tahun 1980'an Ekuador dilanda krisis ekonomi berat. Lalu, dalam proporsi besar sekali, terserang epidemi wabah kolera. Seakan masi kurang, bencana alam silih berganti menghantam memporak-porandakan seluruh desa-desa maupun kota-kota. PBB maupun Pelayanan Bantuan Katolik merespon dengan membawakan perseidaan jagung, produk-produk kedelai, susu, buah-buahan, tortilla (panganan dari tepung jagung), beras dan kacang-kacangan.


Juru potret itu mengambil posisi di suatu jalan utama dimana orang-orang sakit, mereka yang kelaparan, orang-orang yang sudah letih lesu saling berbaris menunggu pembagian makanan. Ia sudah terlatih untuk mengawasi detail-detail kecil dan situasi umumnya yang sedang berkembang.

Ia tertarik pada seorang gadis -- kurus kering dan dekil kotor, sekitar 9 atau 10 tahun umurnya. Diamatinya, selagi gadis ini dengan sabar antri, matanya selalu tertuju pada tiga anak lain lagi yang saling erat berjongkok di bawah sebuah pohon besar, memayungi diri dan menghindari dari terik panas matahari. Dua bocah laki-laki, sekitar umur 5 dan 7, saling menggandeng seorang gadis kecil sekitar 3 tahun. Krena perhatiannya teralihkan, gadis itu tidak melihat bahwa pekerja-perkerja soasial itu sedang kehabisan persediaan makanan.

Jantung ahli potret itu berdetak keras. Kameranya juga sudah siap. Setelah berjam-jam terjemur di bawah matahari, gadis kecil itu akhirnya mendapat giliran dilayani. Yang ia terima cuma sebuah pisang. Tetapi reaksinya begitu memukau dan seakan melumpuhkan tukang potret ini.

Pertama, wajahnya menyala, bersinar dalam sebuah senyum begitu manis. Ia menerima pisang itu dan membungkuk pada pekerja sosialnya. Lalu cepat-cepat berlari menuju ketiga anak-anak kecil di bawah pohon tadi.

Dengan amat hati-hati ia menguliti, membaginya rata dalam 3 potong dan dengan sopan, hati-hati sekali, ditaruhnya masing-masing ke dalam tangan tiap anak. Bersama-sama mereka menundukkan kepala dan berdoa mengucap syukur! Lalu, perlahan-lahan, mereka memakan potongan pisang, benar-benar menikmati setiap gigitannya, sedang gadis tertua itu mengisapi kulitnya.

Tukang potret terdiam seribu bahasa. Tak tertahan lagi, ia mulai menangis tersedu-sedu, lupa sama sekali dengan semua kamera-kameranya dan akan tujuan utamanya hadir di sana.

Setelah sadar kembali, ia bertutur ketika sedang mengamati gadis itu, ia melihat wajah yang bersinar. Ia sempat mengintip wajah dan tindakan-tindakan seorang gadis miskin jalanan yang begitu kaya dalam kemurahan hati, cinta kasih dan sling kepedulian.

Shared by Joe Gatuslao ~ Philippines





No comments:

Post a Comment